Penulis Ust.Fadzla Mujadid, Lc

Pembaca Buletin Mahadul Qur’an Yang Dirahmati Allah ﷻ!

       Di antara ibadah yang agung, yang Allah ﷻ perintahkan kita untuk melakukannya adalah mempelajari ilmu agama. Karena ilmu agama itu akan melahirkan kebaikan-kebaikan yang lainnya. Nabi ﷺ bersabda,

نَضَّرَاللهُ امْرَأًسَمِعَ مِنَّاحَدِيْثًافَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ غَيْرَهُ فَإِنَّهُ رُبَّحَامِ لِفِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيْهٍ وَرُبَّحَامِ لِفِقْهٍ إِلَـى مَنْ هُوَأَفْقَهُ مِنْهُ ثَلَاثُ خِصَالٍ لَايُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ أَبَدًا : إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلّهِ،وَمُنَاصَحَةُوُلَاةِالْأَمْرِ،وَلُزُوْمُ الْـجَمَاعَةِ؛فَإِنَّ دَعْوَتَهُمْ تُـحِيْطُ مِنْ وَرَائِهِمْ. وَقَالَ : مَنْ كَانَ هَمُّهُ الْآخِرَةَ؛جَـمَعَ اللهُ شَمْلَهُ،وَجَعَلَ غِنَاهُ فِـيْ قَلْبِهِ،وَأَتَتْهُ الدُّنْيَاوَهِيَ رَاغِمَةٌ،وَمَنْ كَانَتْ نِيَّـتُهُ الدُّنْيَا؛فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ ضَيْعَتَهُ،وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ،وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَاإِلَّامَاكُتِبَ لَهُ.

Artinya:“Semoga Allahmemberikan cahaya pada wajah orang yang mendengarkan sebuah hadits dariku. Kemudian ia menghafalnya dan menyampaikannya ke orang lain. Banyak orang yang membawa fiqih namun ia tidak memahami. Dan banyak orang yang menerangkan fiqih kepada orang yang lebih faham darinya. Ada tiga hal yang dapat membersihkan hati seorang muslim (dari khianat, dengki, dan keburukan) yaitu beramal dengan ikhlas karena Allah, menasihati ulil amri (penguasa), dan berpegang teguh pada jamaah kaum Muslimin, karena doa mereka meliputi dari belakang mereka.” Beliau bersabda, “Barangsiapa yang keinginannya adalah negeri akhirat, maka Allahakan mengumpulkan kekuatannya, menjadikan hatinya kaya dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina. Namun barangsiapa yang niatnya mencari dunia, Allahakan mencerai-beraikan urusan dunianya, menjadikan kefakiran di pelupuk matanya, dan dunia yang berhasil diraih hanyalah apa yang telah ditetapkan baginya.

Hadits ini memiliki beberapa kandungan yang mulia diantaranya;

Pertama:Perintah Untuk Menuntut Ilmu Syar’i

نَضَّرَاللهُ امْرَأًسَمِعَ مِنَّاحَدِيْثًافَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ غَيْرَهُ

Artinya:”Semoga Allahmemberikan cahaya pada wajah orang yang mendengarkan sebuah hadits dari kami, lalu menghafalkannya sehingga bisa menyampaikannya kepada orang lain.

Nabi ﷺ bersabda, “Semoga Allah ﷻ Memberikan Cahaya”. Maksud dari naddhara adalah wajahnya berseri-seri, sebagaimana yang Allah ﷻ sebutkan dalam firman-Nya, yang artinya, “Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Mereka memandang Rabb-nya.” [Q.S Al-Qiyamah: 22-23]

Ada yang mengartikan naddhara dengan nudhrah (nikmat). Maksudnya, diberikan nikmat oleh Allah ﷻ. Ada juga yang mengartikan naddhara dengan kecukupan. Maksudnya, diberikan kecukupan oleh Allah ﷻ. Makna sabda Nabi ﷺ ini adalah:

  1. Semoga Allah ﷻ memberikan cahaya dan mengindahkan wajah orang yang mendengar sabda Nabi ﷺ.
  2. Allah ﷻ akan mengantarkan orang tersebut kepada kenikmatan Surga.

Maksudnya, orang-orang yang mendengarkan hadits-hadits Nabi ﷺ, maka Allah ﷻ akan membimbingnya kepada kenikmatan Surga pada hari Kiamat. Allah ﷻ berfirman, yang artinya, “Kamu dapat mengetahui kesenangan hidup yang penuh kenikmatan dari wajah mereka.” [Q.S Al-Muthaffifin :24]. Juga firman-Nya :

فَوَقَ اهُمُ اللَّهُ شَرَّذَٰلِكَ الْيَوْمِ وَلَقَّاهُمْ نَضْرَةًوَسُرُورًا

Artinya:“Maka Allah melindungi mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka keceriaan dan kegembiraan.” [Al-Insan/76:11]

Ini adalah doa Nabi ﷺ buat orang-orang yang benar-benar mendengarkan Sunnah Nabi ﷺ, memahaminya, mengamalkannya dan mendakwahkannya. Orang-orang itu akan memperoleh dua keutamaan, yaitu diberi keindahan wajah dan dibimbing untuk meraih kenikmatan Surga. Lafazh atau kata haditsan dalam sabda Nabi ﷺ di atas, maksudnya yaitu hadits yang sah dari Nabi ﷺ. Hadits adalah semua yang disandarkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, baik berupa sifat, perkataan, perbuatan, maupun taqrir (persetujuan). Kemudian sabda Nabi ﷺ, yang artinya ,“ …lalu ia menghafalnya)…” maksudnya anjuran bagi kita untuk menghafal hadits-hadits Nabi ﷺ.

       Di antara sebab terjaganya sunnah-sunnah Nabi ﷺ di tengah kaum Muslimin adalah adanya orang-orang yang menghafalnya. Para Ulama terdahulu sangat giat dan bersemangat dalam menghafal hadits-hadits Nabi ﷺ, sehingga diantara mereka ada yang menghafal ratusan ribu hadits beserta sanadnya. Kata “menghafal” ini mencakup hafal di luar kepala atau bisa juga dengan ia mencatatnya. Sebab, mencatat adalah jalan untuk menghafal. Nabi ﷺ memerintahkan untuk menulis ilmu, beliau ﷺ bersabda:

قَيِّدُواالْعِلْمَ بِالْكِتَابِ

Artinya:“Ikatlah ilmu itu dengan tulisan!”

Dengan adanya orang-orang yang menghafal dan mencatat hadits-hadits Nabi ﷺ, maka SunnahNya terjaga. Dalam riwayat lain, Nabi ﷺ bersabda, “فَوَعَاهَا… (lalu ia memahaminya).” artinya, tidak sekedar menghafal, tetapi juga harus memahami. Kemudian sabda Nabi, حَتَّى يُبَلِّغَهُ غَيْرَهُ  (sehingga ia bisa menyampaikan kepada yang lainnya)…” artinya, ilmu-ilmu yang sudah ia hafal, ia fahami dan ia amalkan, juga harus disampaikan kepada yang lainnya. Menyampaikan ilmu syar’i kepada orang lain memiliki keutamaan yang sangat besar. Ketika Hajjatul Wadaa’, Nabi ﷺ bersabda :

فَلِيُبَلِّغِ الشَّاهِدُمِنْكُمُ الْغَائِبَ

Artinya;”Hendaklah orang yang menyaksikan (hadir/ mendengar) di antara kalian menyampaikannya kepada yang tidak hadir

       Seandainya ilmu itu tidak memiliki keutamaan selain yang disebutkan dalam hadits di atas, tentu itu sudah cukup untuk menunjukkan kemuliaan ilmu. Karena, Nabi ﷺ mendoakan orang yang mendengar sabda beliau, menampungnya, menghafalnya, menjaganya serta menyampaikannya. Berdasarkan hadits ini, kita bias memahami empat tingkatan ilmu :

1.Mendengar dan menyimak ilmu dari sumbernya.

Sumber ilmu adalah al-Qur’an dan hadits Rasulullah ﷺ. dan termasuk dalam hal ini adalah menelaah kitab para Ulama yang bersumber dari wahyu Allah ﷻ.

2.Berusaha memahami dan meresapi kandungannya, supaya ilmu tersebut benar-benar tetap di hati dan tidak hilang.

Menetap di dalam hati seperti sesuatu yang ditampung dalam wadah yang tidak mungkin bisa keluar, atau laksana unta yang terkekang tali, sehingga tidak bisa lari kemana-kemana.

3.Berkomitmen untuk menjaganya agar tidak hilang, dengan berusaha maksimal untuk menghafalnya.

4.Menyampaikan dan menyebarkannya kepada umat agar ilmu itu membuahkan hasil.

Barangsiapa melakukan keempat tingkatan diatas, berarti ia termasuk orang yang didoakan Nabi ﷺ agar dikaruniai keindahan, baik keindahan fisik atau psikis. Sungguh, kecerahan wajah merupakan pengaruh iman, kebahagiaan batin dan kegembiraan hati. Allah ﷻ berfirman, yang artinya, “Maka Allah melindungi mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka keceriaan dan kegembiraan.” [Q.Al-Insan :11]

Allah ﷻ juga berfirman :

تَعْرِفُ فِي وُجُوهِهِمْ نَضْرَةَالنَّعِيمِ

Artinya:”Kamu dapat mengetahui kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan dari wajah mereka. [Q.S Al-Muthaffifiin:24]

Jadi, wajah ceria dan berseri-seri yang dimiliki oleh orang yang mendengar sunnah Rasulullah ﷺ, lalu memahaminya, menghafal, menjaga (hafalannya) lalu menyampaikannya adalah pengaruh dari manisnya (iman), kecerahan, dan kebahagiaan hati dan jiwanya.

Kedua: Ilmu Fiqih dan Pembawanya

فَإِنَّهُ رُبَّحَامِ لِفِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيْهٍ وَرُبَّحَامِ لِفِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَأَفْقَهُ مِنْهُ

Banyak orang yang membawa fiqih namun ia tidak memahami. Dan banyak orang yang menerangkan fiqih kepada orang yang lebih faham darinya

Dalam hadits ini dijelaskan bahwa banyak orang yang membawa hadits-hadits Nabi ﷺ, akan tetapi ia tidak bisa memahaminya dengan baik; Ada juga yang membawa fiqih kepada orang yang lebih faham (lebih faqih). Ada orang yang diberitahu tentang ilmu namun ia lebih faham daripada orang yang memberitahukannya. Namun, bagaimanapun keadaannya, orang yang menyampaikan ayat-ayat al-Qur’an, hadits-hadits Nabi ﷺ, maupun ilmu-ilmu syar’i lainnya, tetap mendapatkan pahala sebagai orang yang menyebarkan ilmu.

Ketiga: Perintah Untuk Membersihkan Hati

ثَلَاثُ خِصَالٍ لَايُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ أَبَدًا : إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلّهِ وَمُنَاصَحَةُوُلَاةِالْأَمْرِ

وَلُزُوْمُ الْـجَمَاعَةِ فَإِنَّدَعْوَتَهُمْ تُحِيْطُ مِنْ وَرَائِهِمْ

Artinya:”Ada tiga hal yang dengannya hati seorang muslim akan bersih (dari khianat, dengki dan keburukan), yaitu: (pertama) beramal dengan ikhlas karena Allah, (kedua) menasihati ulil amri (penguasa), dan (ketiga) berpegang teguh pada jama’ah kaum Muslimin, karena doa mereka meliputi dari belakang mereka”.

⇒ Membersihkan Hati

Rasulullah ﷺ bersabda :

ثَلَاثُ خِصَالٍ لَايُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ أَبَدًا…

Ada tiga hal yang dengannya hati seorang muslim akan bersih selamanya…

Kalimat يغل,  jika dibaca yughillu, yang artinya khianat, maka maksudnya adalah, “Hati seorang Muslim tidak akan berkhianat selama-lamanya jika dia berada dalam tiga hal…”. Sedangkan jika dibaca yaghillu atau yughallu, yang artinya hasad (dengki), maka maksud hadits di atas adalah, “Hati seorang Muslim tidak dihinggapi hasad (dengki) selama-lamanya jika ia berada dalam tiga hal…”

Jadi, hati seorang Muslim itu bersih dari sikap khianat, hasad (dengki), dan keburukan selama-lamanya apabila ia mengerjakan tiga hal ini. Imam Ibnul Atsir rahimahullah mengatakan, “Tiga perkara ini akan membuat hati seorang Muslim menjadi baik. Barangsiapa yang berpegang dengan tiga hal ini, maka hatinya bersih dari khianat, dengki, dan keburukan.”

  1. Amalan Pertama: Beramal Ikhlas Karena Allah ﷻ

Rasulullah ﷺ bersabda:

…إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلهِ…

“… melakukan suatu amalan dengan ikhlas karena Allah…”

Ikhlas adalah masalah yang penting dan utama. Amalan seseorang tidak ada artinya tanpa adanya keikhlasan, sebagaimana dijelaskan dalam banyak ayat al-Qur’an dan hadits Nabi ﷺ.Di antaranya, Nabi ﷺ bersabda :

إِنَّمَاالْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَالِكُلِّامْرِئٍ مَانَوَى …

Artinya:”Sesungguhnya amal-amal itu (sah) dengan niat dan sesungguhnya (balasan amal) seseorang itu tergantung niatnya…[Muttafaqun ‘Alaih]

Ikhlas adalah perkara yang berat, namun wajib bagi kita untuk terus berusaha berlaku ikhlas. Karena ikhlas syarat diterimanya suatu ibadah. Imam Sufyan ats-Tsauri berkata, “Tidaklah aku mengobati sesuatu yang lebih berat daripada mengobati niatku, sebab ia senantiasa berbolak-balik pada diriku.”

Demikian juga yang disampaikan oleh Imam Ibnu Qayyimal-Jauziyyah rahimahullah , beliau berkata, “Tidak akan berkumpul dalam hati seorang Mukmin antara ikhlas di hati dengan keinginan untuk dipuji (disanjung) dan mengharapkan sesuatu dari manusia. Sebagaimana antara air dan api tidak mungkin menyatu …”

  • Amalan Kedua: Menasihati Ulil Amri (Penguasa Kaum Muslimin)

Nabi ﷺ bersabda,

…وَمُنَاصَحَةُوُلَاةِالْأَمْرِ …

“…dan menasihati ulil amri (penguasa)…”

Agama Islam adalah agama nasehat. Rasulullah ﷺ,

اَلدُّيْنُالنَّصِيْحَةُ، (×3) قَالُوْا: لِمَنْ يَارَسُوْلَاللهِ؟قَالَ: ِللهِ،وَلِكِتَابِهِ،وَلِرَسُوْلِهِ،وَِلأَئِمَّةِالْمُسْلِمِيْنَ أَوْلِلْمُؤْمِنِيْنَ،وَعَامَّتِهِمْ.

Artinya:“Agama itu nasihat (3x). Para Sahabat bertanya, ‘Untuk siapa, wahai Rasulullah?’ Rasulullah menjawab: ‘Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, Imam kaum Muslimin atau Mukminin, dan bagi kaum Muslimin pada umumnya.”[HR. Muslim]

Islam menganjurkan umatnya untuk menasihati para Imam dan penguasa dengan cara terbaik, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama Ahlus Sunnah walJama’ah. Menasihati penguasa kaum muslimin, maksudnya yaitu kita menginginkan kebaikan buat para penguasa. Kita ingin supaya mereka berlaku baik, adil dan lurus. Kita tidak boleh keluar (memisahkan diri) dari mereka, tidak boleh menghujat mereka serta tidak boleh memberontak. Imam Ibnu Shalah mengatakan bahwa maksud dari menasihati para penguasa kaum muslimin adalah mendatangi mereka lalu menasihati mereka dengan kata-kata yang baik. Dan ini tugas para Ulama. Menasihati penguasa bukan dengan cara orasi di mimbar, atau dengan demonstrasi di jalan-jalan, atau dengan meghujat mereka. Semua cara ini tidak dibenarkan dalam syari’at Islam. Nabi ﷺ bersabda :

مَنْ أَرَادَأَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلاَيُبْدِهِعَلاَنِيَةً،وَلَكِنْ يَأْخُذْبِيَدِهِ فَيَخْلُوْبِهِ،فَإِنْقَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَوَإِلَّاكَانَقَدْأَدَّىالَّذِيعَلَيْهِ.

Artinya:”Barangsiapa ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkannya terang-terangan. Hendaklah ia pegang tangannya lalu menyendiri dengannya. Jika penguasa itu mau mendengar nasihat itu, maka itu yang terbaik dan bila si penguasa itu enggan menerima), maka sungguh ia telah melaksanakan kewajibannya.[HR. Al-Hakim]

       Sikap Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang mentaati penguasa kaum Muslimin serta menasihati mereka dengan cara yang baik akan menimbulkan rasa aman.

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *