Pengertian Puasa Asyura
“Puasa Asyura” adalah puasa yang dikerjakan pada hari kesepuluh dari bulan Muharram. Atas dasar inilah kemudian bulan Muharram dikenal dengan nama bulan Asyura’. Pada hari ini terjadi beberapa kedustaan yang dilakukan oleh dua kelompok yang saling berseberangan. Agama Syiah pada satu sisi dan kelompok lain yaitu Nawashib (satu kelompok yang tinggi permusuhannya terhadap khalifah keempat kaum Muslimin, Ali bin Abi Thalib radhiallhu anhu). Kelompok yang pertama menjadikan hari ini sebagai hari kesedihan. Setiap tahun ketika datang hari ini mereka mengadakan pesta dengan menampar wajah-wajah mereka, memukul punggung-punggung mereka, merobek-robek baju mereka, memotong rambut-rambut mereka dikarenakan pada hari ini, Husain radhiallhu anhu terbunuh. Mereka melakukan perbuatan ini sebagai bentuk belasungkawa atas kematian Husain. Inilah kegilaan mereka. Kelompok yang kedua yaitu Nawashib, nama lain dari Khawarij salah satu kelompok yang menyimpang. Mereka juga mengadakan kedustaan pada hari ini dengan menjadikannya sebagai hari kemuliaan dan keutamaan. Mereka meriwayatkan pada hari ini hadits-hadits yang berkaitan dengan hal bersenang-senang dengan keluarga, mengenakan pakaian yang paling indah, berhias-hias, bercelak dan sebagainya. Semua perkara ini merupakan suatu kedustaan yang tidak berdasar sama sekali. Kita tidaklah diperintahkan pada hari ini kecuali hanya untuk berpuasa.
Hukum Dan Latar Belakang Disyariatkan Puasa Ini
Dari ‘Aisyah, dia berkata : “Dahulu orang-orang Quraisy melakukan puasa Asyura’ pada jaman jahiliyah dan Rasulullah shalallhu alaihi wasalam dahulu juga melakukannya. Tatkala beliau hijrah ke Madinah, beliau melakukannya dan memerintahkan manusia untuk mengerjakannya. Maka tatkala diwajibkan puasa Ramadhan, beliau bersabda : “Barangsiapa yang mau, silahkan ia berpuasa dan siapa yang mau, silahkan ia meninggalkannya.”.” (HR. Bukhari, Muslim dan lain-lain) Berkata Imam An-Nawawi : “Para Ulama’ telah sepakat bahwa puasa pada hari Asyura’ adalah sunnah, bukan wajib. Dan mereka berselisih tentang hukumnya di awal Islam sebelum disyariatkan puasa Ramadhan. Berkata Abu Hanifah : “Dia wajib.”. Sedangkan pengikut Imam Syafi’i dalam hal ini mereka berselisih menurut dua pendapat yang mashur. Yang paling mashur dari kedua pendapat ini, hukumnya adalah sunnah semenjak disyariatkan dan tidak akan pernah menjadi wajib atas umat ini. Akan tetapi ia adalah sunnah yang ditekankan. Lalu tatkala turun perintah puasa Ramadhan, puasa ini menjadi sunnah dibawah sunnah yang sebelumnya. Dan pendapat yang kedua, puasa ini dahulu wajib sebagaimana perkataan Abu Hanifah …..” ( Syarah Shahih Muslim oleh Imam An-Nawawi jilid 3 halaman 198-199). Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Ashqalany : “Dan diambil dari keseluruhan hadits-hadits bahwa puasa Asyura’ dahulunya wajib karena tetapnya perintah untuk berpuasa. Kemudian perintahnya menjadi tegas lalu penegasannya bertambah dengan seruan secara umum. Lalu bertambah lagi dengan perintah bagi orang yang makan untuk berpuasa kemudian bertambah lagi dengan perintah kepada para ummahat (ibu-ibu) untuk tidak menyusui anak-anak pada hari tersebut. Dan (semakin tegas) dengan perkataan Ibnu Mas’ud radhiallhu anhu yang terdapat di dalam Shahih Muslim : (“Tatkala difardhukan puasa Ramadhan, maka ditinggalkan puasa Asyura’.”) bersama dengan pengetahuan bahwa sunnahnya puasa tersebut tidak ditinggalkan akan tetapi ia tetap ada. Maka ini menunjukan bahwa yang ditinggalkan adalah wajibnya. Adapaun perkataan sebagian mereka bahwa yang ditinggalkan adalah penekanan sunnahnya sedangkan sunnah yang mutlak tetap ada, maka ini tidak tersembunyi kelemahannya. Bahkan penekanan sunnahnya tetap ada lebih-lebih bersama dengan terus-menerusnya perhatian terhadap hal tersebut sampai tahun wafatnya Nabi shalallhu alaihi wasalam, dimana beliau bersabda :(”Jika aku hidup ( sampai tahun depan) niscaya aku akan berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh”) juga karena anjuran beliau untuk berpuasa pada hari ini dan bahwa dia menghapus dosa satu tahun yang lalu. Maka penekanan manakah yang paling tandas dari hal ini?” ( lihat Fathul Barii bisyarh Shahih Al-Bukhari oleh Ibnu Hajar Al-Ashqalany jilid 4 halaman 247) Dari beberapa uraian di atas jelaslah bahwa pada mulanya puasa ini wajib bagi kaum muslimin kemudian berubah menjadi sunnah ketika diturunkan kewajiban puasa Ramadhan. Dan puasa ini pun pernah dikerjakan oleh orang-orang Quraisy di masa jahiliyah.
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رضي الله عنه أَنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيِّةِ كَانُوا يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاء, وَأَنَّ رَسُولَ اللهِ صَامَهُ وَالْمُسْلِمُونَ قَبْلَ أَنْ يُفْتَرَضَ رَمَضَانُ, فَلَمَّا افْتُرِضَ رَمَضَانُ قَالَ رَسُولُ اللهِ (( إِنَّ عَاشُورَاء يَومٌ مِنْ أَيَّامِ اللهِ, فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ, وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ)).
Dari Abdullah bin Umar radhiallhu anhu bahwa dahulu orang-orang jahiliyah berpuasa pada hari Asyura’. Dan Rasulullah shalallhu alaihi wasalam beserta kaum muslimin juga berpuasa pada hari itu sebelum difardhukannya puasa Ramadhan.Lalu tatkala difardhukan puasa Ramadhan, beliau bersabda : “Sesungguhnya Asyura’ merupakan hari di antara hari-hari Allah, barangsiapa yang menghendaki (untuk berpuasa), maka ia berpuasa dan barangsiapa yang menghendaki (untuk tidak berpuasa), maka ia meninggalkannya.” (HR. Muslim)
Dahulu orang-orang Yahudi juga melakukan puasa pada hari Asyura’ disebabkan pada hari ini pernah terjadi peristiwa penting yaitu penyelamatan nabi Musa alaihi salam dari kejaran Fir’aun. Dari Abdullah bin Abbas radhiallhu anhu, ia berkata :
قَدِمَ رَسُولُ اللهِ اَلْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ يَصُومُونَ يَومَ عَاشُورَاء, فَسُئِلُوا عَنْ ذَلِكَ فَقَالُوا : هَذَا الْيَومَ الَّذِي أَظْهَرَ اللهُ فِيهِ مُوسَى وَبَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى فِرْعَونَ, فَنَحْنُ نَصُومُهُ تَعْظِيمًا لَهُ, فَقَالَ النَّبِيُّ: ((نَحْنُ أَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ)) فَأَمَرَ بِصَومِهِ.
“Rasulullah datang ke Madinah maka beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura’. Lalu mereka ditanya tentang hal itu dan mereka menjawab : “Ini merupakan hari Allah memenangkan Musa dan bani Israil atas Fir’aun, maka kami berpuasa untuk mengagungkannya.”. Maka Rasulullah bersabda : “Kami lebih berhak terhadap Musa dari kalian.”. Lalu beliau memerintahkan untuk berpuasa pada hari itu.” Kisah ini telah diisyaratkan Allah subhanahu wata’ala dalam firman-Nya :
وَإِذْ فَرَقْنَا بِكُمُ الْبَحْرَ فَأَنجَيْنَاكُمْ وَأَغْرَقْنَا آلَ فِرْعَوْنَ وَأَنتُمْ تَنظُرُونَ
“Dan (ingatlah), ketika Kami belah laut untukmu lalu Kami selamatkan kalian dan Kami tenggelamkan (Fir’aun) beserta pengikut-pengikutnya sedang kamu sendiri menyaksikan.” (QS. Al-Baqarah : 50) Berkata Imam Ibnu Katsir dalam menjelaskan makna ayat ini : “Setelah kami selamatkan kalian dari Fir’aun beserta bala tentaranya dan kalian keluar bersama Musa. Fir’aun keluar untuk mencari kalian maka Kami membelah lautan untuk kalian, Kami jauhkan kalian dari mereka dan Kami memisahkan antara kalian dengan mereka lalu Kami tenggelamkan mereka sedangkan kalian melihatnya agar hal ini menjadi pelipur lara bagi hati-hati kalian dan lebih menghinakan musuh-musuh kalian.”
Berkata Amr bin Maimun Al-Adawy : “Tatkala Musa keluar bersama bani Israil, sampailah berita tersebut kepada Fir’aun, maka dia berkata : “Janganlah kalian mengikuti mereka hingga ayam berkokok.” Demi Allah, pada malam tersebut tidak ada seekor ayam pun yang berkokok hingga waktu shubuh…. Tatkala Musa telah sampai di tepi laut, berkata salah seorang pengikutnya yang bernama Yusa bin Nun : “Mana perkara Rabbmu?” Musa berkata : “Ada di hadapanmu (beliau memberi isyarat ke laut).”, maka Yusa memasukkan kudanya ke dalam laut hingga mencapai arus dan arus membawanya. Lalu ia kembali dan berkata : “Mana perkara Rabbmu wahai Musa?……….” Dia melakukan ini sebanyak tiga kali. Kemudian Allah subhanahu wata’ala mewahyukan kepada Musa : “Pukulkan tongkatmu ke laut!” Ia memukulnya lalu laut pun terbelah. Maka setiap bagian laksana gunung yang besar.Kemudian Musa dan pengikutnya berjalan dan diikuti oleh Fir’aun melalui jalan mereka hingga tatkala mereka telah sempurna dalam melewati laut, Allah subhanahu wata’ala menutup laut itu di atas mereka. Oleh karena itu Allah subhanahu wata’ala berfirman : “Kami tenggelamkan (Fir’aun) beserta pengikut-pengikutnya sedang kamu sendiri menyaksikan.” (QS. Al-Baqarah:50) Peristiwa ini terjadinya tepat pada hari Asyura’ sebagaimana hadits yang telah berlalu penyebutannya.
Waktu Pelaksanaan
Sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa puasa ini dilakukan pada hari kesepuluh dari bulan Muharram, akan tetapi ditambah dengan satu hari sebelumnya yaitu pada hari kesembilan, sebagai bentuk penyelisihan terhadap orang-orang yahudi. Puasa yang dilakukan pada hari kesembilan ini dikenal dengan nama puasa Tasua’. Dari Ibnu Abbas radhiallhu anhu, ia berkata ketika Rasulullah shalallhu alaihi wasalam melakukan puasa Asyura’ dan memerintahkan untuk berpuasa pada hari itu :
((يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ يَومٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى))
“Wahai Rasulullah! Sesungguhnya hari Asyura’ merupakan hari yang diagungkan orang-orang Yahudi dan Nashrani” Maka beliau shalallhu alaihi wasalam bersabda :
((فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا الْيَومَ التَّاسِعَ.)) قَالَ : فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ
“Apabila pada tahun depan Insya Allah kita akan berpuasa pada hari kesembilan”.Ibnu Abbas berkata : “Maka tidak datang tahun depan hingga wafat Rasulullah shalallhu alaihi wasalam .” (HR. Muslim) %
Keutamaan Puasa Asyura
“Di antara keutamaan puasa Asyura” adalah :
1. Hari di mana puasa ini dikerjakan merupakan salah satu dari hari-hari Allah subhanahu wata’ala.
2. Pada hari ini Allah subhanahu wata’ala menyelamatkan Nabi-Nya, Musa alaihi salam dan para pengikutnya dari kejaran Fir’aun beserta bala tentaranya.
3. Puasa ini dapat menghapus dosa satu tahun sebelumnya. Rasulullah shalallhu alaihi wasalam ketika ditanya tentang pahala puasa Asyura’, beliau bersabda :
((يُكَفَّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ))
“Dia dapat menghapus (dosa) tahun yang lalu.” (HR. Muslim)
Para Ulama’ berbeda pendapat pada amalan-amalan yang dapat menghapus dosa-dosa seperti puasa Arafah yang dapat menghapus dosa satu tahun sebelum dan sesudahnya, puasa Asyura’ yang dapat menghapus dosa satu tahun sebelumnya serta yang lainnya, apakah amalan-amalan ini dapat menghapus seluruh dosa baik besar maupun kecilnya. Imam Nawawi berkata : “ Maksud dosa yang dihapus oleh puasa adalah dosa-dosa kecil. Dan bila tidak ada diharapkan diringankan dosa-dosa besarnya, bila tidak ada maka diangkat derajatnya.”
4. Puasa ini termasuk sunnah yang ditekankan. Terbukti Rasulullah shalallhu alaihi wasalam memerintahkan orang yang makan untuk berpuasa dan memerintahkan para wanita untuk tidak menyusui bayi-bayinya pada hari ini. Demikianlah sekilas tentang puasa Asyura’ yang sebentar lagi akan kita tunaikan. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam
dikutip dari : abu-riyadl.blogspot.com